Secara biologis dan alamiah keberadaan Ulat bulu merupakan ada suatu tahapan metamorfosis kupu-kupu, yaitu dari telur menjadi ulat bulu, kemudian membentuk kepompong hingga beberapa waktu untuk bermetamorfosa menjadi seekor kupu-kupu yang indah.
Melalui proses metamorfosa ini, terjadi perubahan pada sayap, antena, kaki, dan bagian tubuh lainnya. Begitu pula, sel-sel di sejumlah wilayah kunci, misalnya otot-otot dan sayap untuk terbang, tersusun kembali melalui setiap tahap metamorfosa. Selanjutnya, bersamaan dengan perubahan ini, hampir semua sistem pada tubuh-sistem pencernaan, sistem pembuangan, sistem pernafasan, dan bagian lainnya menjalani perubahan besar-besaran.
Saat telah berubah sempurna 100% menjadi kupu-kupu, terlihatlah corak sayapnya yang begitu mengagumkan dan indah, pola coraknya sangat simetris di kedua sisinya tanpa cacat sedikit pun. Begitu pula warnanya yang beraneka ragam dan berbeda-beda, tercatat sangat banyak sekali berbagai corak kupu-kupu yang ada.
Mungkin wabah ulat bulu ini suatu bentuk “pelajaran” yang hendak disampaikan Allah, Tuhan Semesta Alam untuk diambil menjadi “ibrah” (teladan/pelajaran) berkaiatan dengan keunikan atau kondisi yang ditimbulkannya. Begitu pula kondisi atau kejadian lainnya di muka bumi (semisal gempa, gunung meletus, banjir, dan bentuk “pelajaran” lainnya).
Meminjam analogi ulat bulu dan kupu-kupu, saat keadaan seseorang atau suatu masyarakat dalam keadaan yang sangat menjijikan dan tidak diinginkan (seperti halnya ulat bulu), dimana hampir semua semua orang mencaci maki, meng-kambinghitamkan atas suatu keadaan, bahkan ada yang berusaha memusnahkan kita, disaat itulah kita sudah seharusnya bisa berubah untuk mencapai tingkatan yang lebih baik. Berubah tentunya butuh waktu dan proses yang juga butuh pengorbanan, namun ujung-ujungnya adalah suatu berkah yang membawa kebaikan dan keindahan. Jadi seberapa siap dan mampukah kita maupun suatu masyarakat atau bangsa memasuki fase menjadi kepompong “hidup” untuk menjadi manusia lebih baik dan “indah”.
Selain itu hal tersebut secara ilmiah di Amerika pernah di teliti mengenai adanya feomena alam yang menelurkan teori “Efek kupu-kupu” di benua Amerika. Mari kita simak penjelasannya berikut.
Efek kupu-kupu / Butterfly effect
Mungkin istilah Efek kupu-kupu (Butterfly effect) masih belum cukup familiar di Indonesia, tapi di Amerika sudah cukup dikenal, yaitu istilah untuk sebuah teori Chaos. Kemunculan Istilah ini sebenarnya merupakan suatu analogi suatu fenomena tanda-tanda alam di Benua Amerika dimana kepakan sayap kupu-kupu di hutan belantara Brazil dapat “menghasilkan” tornado secara tidak langsung di daerah Texas beberapa bulan kemudian. Fenomena ini juga dikenal sebagai sistem yang ketergantungannya sangat peka terhadap kondisi awal. Hanya sedikit perubahan pada kondisi awal, dapat mengubah secara drastis kelakuan sistem pada jangka panjang.
Teori Chaos adalah teori yang berkenaan dengan sistem yang tidak teratur seperti awan, pohon, garis pantai, ombak dan komponen alam alainnya secara random, tidak teratur dan anarkis. Namun bila dilakukan pembagian (fraksi) atas bagian-bagian yang kecil, maka sistem yang besar yang tidak teratur ini didapati sebagai pengulangan dari bagian-bagian yang teratur. Edward Norton Lorenz menemukan efek kupu-kupu atau apa yang menjadi landasan teori chaos pada tahun 1961 di tengah-tengah pekerjaan rutinnya sebagai peneliti meteorologi. (baeq)
Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan-tangan manusia, supaya Allah menimpakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS ar-Rum [30]: 41).
0 comments:
Post a Comment